Senin, 04 April 2016

PAPER KOMUNIKASI DATA



Paper
Tugas komunikasi data
Nama : Anshar
Nim : 140212043

Dosen Pembimbing: Andika Prajana




UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMATIKA


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1.  Latar belakang............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Makalah............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
1.1. Syari’at Islam dan HAM.............................................................................................. 2
a.        Syari’at Islam.......................................................................................................... 2
b.      Hak Asasi Manusia (HAM)..................................................................................... 5
1.2.Pandangan Islam  mengenai HAM................................................................................ 9
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 23
1.1. Kesimpulan................................................................................................................... 23
1.2.Saran.............................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 24



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan Seuramoe Mekkah. Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya masyarakat aceh sehingga aktivitas budaya termasuk hukum kerap berazaskan islam.
            Aceh menganut sistem syari’at islam, meskipun di Aceh mayoritas penduduk muslim tapi bukan berarti kita harus mengabaikan para pemeluk agama lain yang notabenya minoritas. Bagi Umat Islam di Aceh jika mereka melakukan kesalahan, mereka akan dihukum sesuai dengan qanun-qanun syari’at Islam yang belaku di Aceh. Namun bagaimanakah dengan mereka yang non muslim jika melakukan kesalahan? Apakah mereka juga akan dikenakan hukum syari’at seperti pemeluk Islam? Ataukah mereka hanya dikenakan hukum konstitusional yang berlaku di Negara tanpa terkena hukum syari’at Islam?


1.2. Rumusan Masalah
a.       Apakah hukum syari’at Islam dan HAM itu?
b.      Adakah pertentangan antara syri’at Islam dengan HAM?
c.       Apakah warga non muslim di Aceh terkena hukum syari’at jika melakukan kesalahan?
d.      Kesalahan apa sajakah yang terkena hukum syari’at jika dilakukan oleh warga non muslim di Aceh?


1.3. Tujuan Makalah
a.       Membahas mengenai hukum syari’at Islam bagi non muslim di Aceh.
b.      Membahas mengenai syari’at Islam dan HAM.



BAB II
PEMBAHASAN


1.1. Syari’at Islam dan HAM
A.    Syari’at Islam
Secara etimologis, Syari’ah, (jalan ke mata air), berasal dari akar kata syara’a (yang ditetapkan atau didekritkan) di dalam Al-Qur’an, kata syari’ah muncul satu kali dalam surah Al-Jaatsiyah ayat 18 dengan pengertian jalan yang mesti diikuti.
"Kemudian Kami jadikan kamu, berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu ikuti, hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (Q.S. Al-Jaatsiyah:18)

Kata bentukan syir’ah juga digunakan dalam ayat Al-Maidah ayat 48 dengan pengertian jalan.
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu," (Q.S. Al-Maidah:48)

Sementara akar kata syara’a muncul dua kali sebagai subjeknya dalam surah Asy-Syuura ayat 13 dan juga tercantum dalam surah Al-‘Araaf ayat 163 dengan kaitannya dengan orang orang yang membangkang kepada agama tuhan.
"Dia telah mensyariatkan bagi kamu (Muhammad), tentang agama, (seperti) apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: 'Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya'. Amat berat bagi orang-orang musyrik, (untuk mengikuti) agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu, orang yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada (agama-)Nya, orang yang kembali (kepada jalan-Nya)." (Q.S. Asy-Syuura:13)

"Dan tanyakanlah kepada Bani Israil, tentang negeri yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka, ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka, terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka, disebabkan mereka berlaku fasik." (Al-‘Araaf :163)

Sebgai hukum tuhan, Syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat Islam. Sebagian umat Islam meyakini syari’at Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik secara individual maupun kolektif. Kecendrungan mendefinisikan syari’at islam secara luas semacam ini, sekalipun bermasalah, tetap muncul di dunia Islam hingga kini.
Syari’at Islam biasanya di klasifikasikan kedalam ‘Ibadah dan Mu’amalah: ‘Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Allah sedangkan Mu’amalah mengatur hubungan manusia dengan manusia. Ia ditujukan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dengan demikian, menurut batasan yang disebutkan diatas, syari’at mengatur seluruh perilaku public dan privat manusia. Ia memiliki aturan tentang kebersihan pribadi, perilaku seksual, dan membesarkan anak. Ia mengemukanakan aturan-aturan spesifik tentang shalat, puasa, sedekah dan berbagai masalah religious lainnya. Ketentuan tentang masalah keperdataan dan kepidanaan juga tercakup dalam syari’at. Disamping itu syari’at mengatur bagaimana individu berperilaku di dalam masyarakat, bagaimana suatu kelompok berinteraksi dengan kelompok lain, bagaimana mengatasi masalah perbatasan, perselisihan, konflik dan peperangan antar negara, serta masalah kelompok minoritas di dalam negara. Dalam pandangan kaum muslimin, syari’at bahkan dapat digunakan sebagai sarana untuk memecahakan masalah sipil dan kriminalitas internasional.
Untuk berbagai ketentuan, syari’at mengemukakan sejumlah hukuman ata pelanggarannya. Khusus mengenai pidana, ada tiga katagori yang lazim dikemukakan yaitu:
a.       Hadd/ hudud, adalah perbuatan yang dilarang dan dikenakan hukuman oleh Al-Qur’an, mencakup zina, khamar, pencurian, dan perampokan
b.      Qishash, berkaitan dengan kejahatan terhadap person (perorang) seperti pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, serta pengeroyokan. Qishash berupa hukuman retaliasi (pembalasan) yang ditetapkan syari’at. Tetapi keluarga korban (ahli waris) dapat memafkan perbuatan tersebut dengan uang tebusan yang disebut diyat.
c.       Ta’zir, adalah kejahatan terhadap kepentingan public dan privat yang tidak ditetapkan dalam hudud dan qishash oleh karena itu hukumannya diserahkan kepada hakim dan hukumannya bervariasi tergantung dari yang memvonis dan yang menerima vonis. Hukuman ta’zir bisa berupa hukuman mati, cambuk, penjara, pengasingan dan lainnya tergantung dari kesalahan si terdakwa.
Dalam teorinya seluruh pelanggaran selalu diadili oleh hakim. Kitab-kitab fiqh selama berabad-abad selalu mengulang-ulang yurisdiksi teoritis ini. Tapi hukum yuridis dalam hukum pidana pada faktanya telah hilang dari tangan hakim sejak masa awal-awal islam. Ada beberapa factor yang menyebabkan hilangnya yurisdiksi tersebut antara lain:
a.       Syari’at hanya mencakupkan sejumlah tindakan kriminal beserta hukumannya serta melepaskan tindakan kriminal lain kedalam wilayah ta’zir.
b.      Hukum hukum pembuktian dalam syari’at terlalu restriktif untuk diterapkan dalam suatu sistem kriminal yang efisien.
c.       Pemimpin negara dan negara islam tidak dapat membiarkan tindakan kriminal yang mengancam keamanan negara diadili oleh otoritas keagamaan yang loyal pada sekumpulan hukum yang tidak dapat mereka control.
Secara umum, ketentuan syari’at terbagi dalam 5 katagori utama (al-ahkam al-khamsa) yaitu:
a.       Fardhu: yang diwajibkan
b.      Haram: yang dilarang
c.       Mandub/sunnah: yang disarankan
d.      Makruh: yang disarankan untuk ditinggalkan
e.       Jaiz/mubah: yang dibolehkan[1]


B.     Hak Asasi Manusia (HAM)

Secara etimologi hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman prilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satu pun makhluk mengintervensinya apalagi mencabutnya.[2]
Dalam pasal 1 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya, yaitu umat manusia tanpa terkecuali.
Tidak jelas sejak kapan istilah HAM ini muncul, baik dalam bahasa Inggris (human rights) maupun dalam bahasa Indonesia (Hak Asasi Manusia). Kesadaran bahwa manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok memiliki hak asasi disamping kewajiban-kewajiban asasi sudah lama muncul, sebagaimana trlihat dalam banyak tulisan kuno, termasuk kitab-kitab suci agama.
Perumusan HAM secara jelas dan baku barulah dilakukan sejak tahun 1945. Namun demikian tidak ada definisi tunggal untuk itu sehingga kita dapat menemukan berbagai macam definisi yang saling melengkapi.
Salah satu contoh definisi atau pengertian HAM dapat kita kutip dari tulisan Leah Levin “Konsepsi tentang hak-hak asasi manusia mempunyai dua makna dasar. Yang pertama, ialah bahwa hak hakiki dan tak terpisahkan menjadi hak seseorang hanya karena ia adalah manusia. Hak hak itu berupa hak –hak moral yang berasal dari setiap umat manusia. Makna keduan dari hak-hak asasi manusia adalah hak-hak hukum, baik secara nasional maupun internasional.”
Pengertian lain dapat kita ambil dari buku yang disusun oleh komnas HAM. “Hak Asasi Manusia mencakup segala bidang kehidupan manusia baik sipil, politik, maupun ekonomi, social dan kebudayaan. Kelima-limanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hak-hak asasi politik dan sipil tidak ada artinya apabila rakyat masih harus bergeut dengan kemiskinan dan penderitaan. Tetapi, di lain pihak, persoalan kemiskinan, keamanan dan lainnya tidak dapat digunakan secara sadar untuk melakukan pelanggaran HAM dan kebebasan politik serta social masyarakat. HAM tidak mendukung individualisme, melainkan melindunginya membendungnya dengan melindungi individu, kelompok, dan golongan, di tengah kekerasan kehidupan modern. HAM merupakan tanda solidaritas nyata suatu bangsa dengan warganya yang lemah.”
Salah satu dokumen paling dasar pada zaman modrn ini adalah Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang dideklerasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dokumen ini lahir antara lain dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman buruk umat manusia pada perang dunia I dan II. Di dalam dokumen yang terdiri dari mukadimah dan 30 pasal ini  dikemukakan rincian martabat dan Hak manusia yang tercakup dalam HAM yaitu:
1.      Pengakuan bahwa seseorang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
2.      Hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan.
3.      Hak untuk tidak diperbudak.
4.      Hak untuk dianiaya dan diperlakukan secara kejam.
5.      Hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum.
6.      Kesamaan di hadapan hukum dn hak perlindungan hukum yang sama.
7.      Hak atas pengadilan yang efektif; hak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
8.      Hak untuk mengemukakan pendapat di muka umum.
9.      Hak untuk dianggap tak bersalah.
10.  Hak untuk tidak diganggu dalam urusan pribadi, keluarga, hubungan surat menyurat.
11.  Hak untuk tidak dilanggar kehormatan dan nama baiknya.
12.  Hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara.
13.  Hak untuk meninggalkan suatu negeri termasuk negerinya sendiri dan hak untuk kembali ke negerinya sendiri.
14.  Hak untuk mencari dan mendapat tempat pelarian di negeri lain.
15.  Hak atas suatu kewarganegaraan.
16.  Hak untuk mencari jodoh dan melangsungkan pernikahan dengan dasar suka sama suka dan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan dan agama.
17.  Hak untuk kepemilikan, baik untuk perorangan maupun bersama dengan orang lain.
18.  Hak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tersendiri.
19.  Hak dan kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat.
20.  Hak dan kebebasan untuk berkumpul dan bermusyawarah, termasuk hak untuk tidak dipaksa memasuki suatu perkumpulan.
21.  Hak untuk turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, termasuk kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya berdasarkan kedaulatan rakyat.
22.  Hak atas jaminan social, termasuk hak ekonomi, social dan kebudayaan yang perlu guna martabatnya dan guna perkembangan bebas pribadinya.
23.  Hak atas upah pekerjaan dan upah yang adil, yang menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, termasuk hak mendirikan dan memasuki serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
24.  Hak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan jam kerja dan menerima upah pada hari-hari liburan.
25.  Hak atas tingkat kehidupan yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk hak ibu dan anak-anak untuk mendapat perawatan dan keadaan baik untuk mendapat perawatan dan bantuan istimewa, termasuk anak yang lahir diluar perkawinan.
26.  Hank untuk mendapat pengajaran dengan gratis, setidaknya pada tingkat rendah/dasar.
27.  Hak untuk turut serta dengan bebas dalam kebudayaan masyarakat, termasuk mendapat perlindungan atas hasil kerja dan ciptaannya.
28.  Hak atas susunan social internasional.
29.  Kewajiban terhadap suatu masyarakat, termasuk ketundukan terhadap undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan orang lain.
30.  Tidak berhak melakukan suatu kegiatan atau perbuatan yang bertujuan untuk merusak salah satu hak dan kebebasan yang sudah dikemukakan pada butir-butir sebelumnya.

Dokumen universal ini kemudian disusul dan dirinci dengan sangat banyak dokumen lain, baik yang bersifat internasional maupun yang bersifat nsional. Dari sekian banyak dokumen ini terlihat bahwa semakin banyak hal menyangkut HAM yang perlu dan sudah diatur. Tetapi masih banyak juga yang belum.
Dari sekian banyak dokumen diatas beberapa diantaranya diadopsi dan diratifikasi di Indonesia. Diantaranya adalah:
a.       Perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya (piagam ecosco)
b.      Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (piagam cipol)
Isi dari dua piagam diatas memberi banyak hak kepada rakyat atau warga negara dari yang memberlakukan dokumen-dokumen ini untuk menikmati berbagai hak di bidang ekonomi, social, budaya dan politik, misalnya hak untuk menikmati kekayaan negara, hak untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak dan lain sebagainya.
Sebagian besar isi deklarasi universal HAM ini maupun turunan-turunanya sudah diadopsi dan diratifikasi dalam UUD 1945 hasil amandemen I-IV. Dihubungkan dengan pancasila sebagai dasar negara, hal ini tercantum pada sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam hubungan dengan sila-sila lainnya.[3]



1.2. Pandangan Islam mengenai HAM

Mengingat bahwa agama Islam merupakan agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut adalah hak asasi manusia dan berbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota dalam pandangan Islam.
Penghargaan Al-Qur’an terhadap HAM dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yaitu:

a.      Hak hidup
Hak pertama warga yang mengemuka dalam Islam dan sangat penting adalah hak untuk hidup. Mengingat seluruh hak bergantung pada hidupnya seseorang. Artinya jiwa dan hidup manusia memiliki kehormatan dan tiada seorang pun yang memiliki hak untuk melanggarnya. Dan dalam keyakinan dan ideologi Islam, sedemikian manusia mulia dan penuh nilai sehingga falsafah keberadaannya adalah untuk manusia. Tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 32
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi “. (Q.S. Al-Maidah : 32)

b.      Hak hidup janin
Dalam pemerintahan Islam, di samping hak hidup memiliki kehormatan maka demikian juga hak sebelum hidup ketika manusia masih berada pada masa janin. Menjaga dan menunaikan hak ini diatur sepenuhnya dalam Islam. Atas dasar itu, menggugurkan janin termasuk kejahatan dan bahkan Islam menjaga dan mendukung harta benda dan kepunyaan janin.
Hal ini dilakukan supaya harta benda, kekayaan mereka tidak diganggu pada masa janin dan masa kecil yang termasuk bagian dari empat prinsip maqâshid al-syari’ah. Atas dasar itu, anak yang masih dalam kandungan memiliki warisan dan wasiat. Dan hal ini menandaskan penjagaan hak-hak materialnya sebelum ia lahir ke dunia.

c.       Hak-hak Sosial Warga Kota dalam Islam
Dr. Abdulkarim Zaidan seorang juris dan pakar hukum membagi hak-hak orang dalam pemerintahan Islam menjadi dua bagian:
A.    Hak-hak Politik:
Hak-hak politik dalam pandangan para pakar hukum adalah hak-hak yang diperoleh seseorang karena ia merupakan anggota dan bagian dari sekumpulan masyarakat seperti hak untuk memilih, hak untuk dipilih, memikul tugas-tugas kemasyarakatan dan tanggung jawab sosial, hak musyawarah yang pada hakikatnya merupakan hak umat dalam memilih pemimpin pemerintahan, hak untuk memakzulkan dan memecat presiden karena hubungan rakyat dan presiden dalam hal ini adalah hubungan wakil dan yang diwakili yaitu rakyat sebagai yang diwakili dan presiden adalah yang mewakili.

B.    Hak-hak Umum
Hak-hak umum yang disebut sebagai hak-hak bagi manusia karena ia merupakan bagian dan anggota masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Hak-hak umum ini ditetapkan untuk menjaga keselamatan, harta dan kebebasan manusia.
1.      Kebebasan Berakidah
Pada sebagian ayat al-Qur’an dijelaskan prinsip kebebasan berakidah. Artinya secara asasi mengikuti keyakinan-keyakinan hati dan masalah-masalah nurani hanya bermakna tatkala tidak terdapat desakan dan paksaan di dalamnya.
“Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (Qs. Al-Baqarah: 256)
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus: 99)
“Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Qs. Al-Kahfi: 29)
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya). “(Qs. Al-An’am: 107)
Iman kepada Tuhan dan prinsip-prinsip Islam sekali tidak dapat dipaksakan, melainkan hanya dapat dilakukan dengan logika dan penalaran. Pikiran dan ruh hanya dapat dimasuki dengan logika dan penalaran. Penting kiranya hakikat-hakikat dan perintah-perintah Ilahi dijelaskan sehingga orang-orang memahami dan menerimanya dengan kehendak dan ikhtiar yang mereka miliki.
Dimensi lain kebebasan adalah kebebasan berpikir dan beride. Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan.
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat: 53)
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Qs. Al-Dzariyat: 20-21)

2.      Kebebasan Berekspresi
Pemerintahan Islam memberikan kebebasan penuh sehubungan dengan masalah kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Tuhan mengaruniai manusia bersaman dengan menciptakan manusia salah satu anugerah yang disebut sebagai “bayan.”
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. (Dia yang) Telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menciptakan manusia. Dia mengajarkan bayân (ucapan yang dapat mengungkap isi hati) kepadanya.” (Qs. Al-Rahman: 1-4)
Bayân adalah ekspresi dan ucapan yang digunakan untuk mengungkap isi hati. Masalah bayân bukanlah semata-mata masalah formal dan sekedar ekspresi lisan. Allah Swt menganugerahkan seluruh nikmat eksistensial kepada manusia, sehingga nikmat tersebut dimanfaatkan secara maksimal, optimal dan pada tempatnya yang benar dan supaya mereka mengedepankan ajaran-ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan anugerah utama dan manusia dapat memanfaatkan nikmat ini dengan benar dan secara maksimal. Apabila manusia mengungkapkan gagasan dan mengekspresikan pikirannya dalam pancaran cahaya al-Qur’an maka hal itu akan sangat berguna bagi manusia.
Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Demikian juga memberikan keluasan untuk mendengar pemikiran orang lain dan memilih yang benar dari pikiran-pikiran tersebut. Karena dalam pemerintahan Islam, ruang dialog dan tukar pendapat terbuka lebar. Namun dengan syarat harus berdasarkan hikmah dan “mau’izah hasanah” serta tidak melanggar pemikiran dan keyakinan orang lain.
Teks al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang kebebasan berekspresi dan berdialog,
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zumar: 18)

Pada ayat ini terdapat beberapa poin asasi yang harus ditelisik sebagaimana berikut:
a.       Kebebasan bersekspresi bagi seluruh hamba Tuhan karena pada ayat tersebut dinyatakan dengan redaksi “qaul” (perkataan) yaitu apa pun bentuk perkataan dan ucapan.
b.       Perkataan dan kebebasan berekspresi dan berpikir tidak bersifat satu arah. Tentu saja ada dialog di dalamnya. Ada yang mendengar juga ada yang mengungkapkan pendapatnya. Pikiran-pikiran orang lain ditelaah kemudian memilih yang terbaik dari pikiran dan gagasan tersebut.
c.       Para hamba yang memperoleh petunjuk adalah orang-orang yang mendengarkan pendapat, gagasan dan pikiran orang lain. Dan menerima pendapat, gagasan dan pikiran yang lebih unggul dan lebih baik. Demikianlah puncak kebebasan berekspresi dalam Islam yang mencakup seluruh manusia dengan syarat tidak menciderai dan melanggar batas-batas dan hak-hak orang lain.

3.      Dialog secara damai
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan “berdialog secara damai” dengan Ahlul kitab dan hubungannya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an menyatakan:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut: 46)

Pada ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat Ilahi.

Al-Qur’an menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan cara yang sama, 
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am: 108)

Mengingat penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka. Islam memandang perlu ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.


4.      Menerima Hak-hak kaum Minoritas
Berdasarkan teks al-Qur’an tiada paksaan dalam menerima agama. Hal ini menandaskan kebebasan dalam menerima keyakinan dan pikiran. Kebebesan seperti ini merupakan bentuk manifestasi keadilan sosial; sebagaimana warga Muslim lainnya, juga mencakup seluruh warga non-Muslim tanpa adanya diskriminasi.
Terkait dengan menunaikan keadilan, al-Qur’an menyatakan dalam bentuk khusus dengan menitahkan kepada kaum Muslimin untuk bersikap adil terhadap mereka,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah :8)
Seluruh upaya, harus dilakukan bagi kaum Mukmin dan Muslim untuk meraih keridhaan dan kecintaan Allah Swt. Pada ayat ini, Allah Swt menyatakan cinta kepada orang-orang yang berlaku adil. Siapakah orang yang berlaku adil ini? Mereka adalah orang-orang yang berlaku baik dan adil kepada non-Muslim.
Sehubungan dengan Ahlulkitab, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad SAW bahwa apabila engkau menunaikan dan berlaku adil terhadap mereka,
“Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (Qs. Al-Maidah: 42)
Rasulullah SAW dalam membela hak-hak warga dan menyediakan keamanan personal (dzhimma) menyebut mereka yang melanggar hak-hak mereka sebagai musuhnya. Sikap demikian merupakan puncak kepedulian dan pembelaan terhadap hak-hak warga non-Muslim.
Para juris menjelaskan beberapa kaidah sekaitan dengan kebebasan-kebebasan personal non-Muslim. Dalam kaidah tersebut, hak-hak kedua belah pihak terjaga. Hubungan warga kota dengan yang lainnya demikian juga hubungan penguasa Islam terhadap mereka, pendeknya hubungan-hubungan sosial di antara mereka berasaskan pada penegakan dan penunaian keadilan.

5.       Keadilan adalah Asas Hak-hak Sosial dalam Islam
Poros dan fokus seruan samawi dan silsilah dakwah para nabi adalah keadilan bagi umat manusia. Dalam dakwah para nabi, kita jumpai poin-poin common yaitu, setelah menyeru kepada Tuhan Yang Esa, dan menjauhi thagut (tiran) dalam masalah akidah, seruan para nabi adalah seruan keadilan sosial.
Keadilan sesuai dengan definisinya adalah persamaan dan kesamaan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil.” (Qs. Al-Hadid: 25)
Agar seluruh manusia merasakan keadilan dan menuaikan hak-hak warga, redaksi ayat dinyatakan dengan kalimat, “al-nas” (manusia). Keadilan merupakan sebuah kebenaran yang menjadi masterpiece seruan dan dakwa para nabi. Tugas para nabi adalah menunaikan keadilan bagi umat manusia tanpa memandang warna kulit, ras, suku bangsa, kaya, miskin, beriman, tidak beriman dan lain sebagianya. Berdasarkan keadilan, seluruh hak-hak warga akan dapat teralisir dengan baik. Karena keadilan merupakan substansi yang menata dan mengatur seluruh urusan dan berbagai proses yang berkuasa dalam sistem kehidupan manusia.
Meminjam ungkapan Dr. Muhammad Ammarah, “Peradaban Islam, semenjak berabad lalu, memandang dan mengamalkan hak asasi manusia tidak hanya sebagai hak asasi manusia melainkan sebagai kewajiban Ilahi dan taklif syar’i manusia.” Sedemikian sehingga tidak dibenarkan bagi manusia (kaum Muslimin) mengabaikannya atau bertindak berlebihan atau memandang enteng masalah ini. Menjaga keselamatan jiwa, akal, agama, kehormatan, harta, negara, ilmu, keadilan, persamaan, kebebasan, partisipasi manusia dalam urusan-urusan kemasyarakatan melalui musyawarah, amar makruf dan nahi mungkar, bukan hanya masalah-masalah hak asasi manusia.
Kewajiban-kewajiban ini adalah kewajiban-kewajiban Ilahiah dan tugas syar’i kaum Muslimin. Kewajiban ini tidak semata-mata dijalankan sesuai keinginan pribadi, kapan saja mau dilakukan dikerjakan dan kapan saja ingin ditinggalkan ditinggalkan begitu saja. Artinya kewajiban-kewajiban ini bukan semata-mata sebuah deklarasi atau maklumat saja, melainkan kesemua ini merupakan kewajiban Ilahi dan taklif syar’i yang harus dikerjakan. Mereka yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menunaikan kesemua ini, apabila tidak dikerjakan dengan baik, maka mereka akan dihukum dan ditindak.

6.      Memberikan Perhatian terhadap Prinsip-prinsip Bersama
Islam adalah sebuah ajaran yang semenjak kemunculannya telah mempresentasikan slogan koeksistensi kepada seluruh penduduk dunia. Ajaran ini menyeru kepada Ahlulkitab,
“Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran: 64)
Ayat ini merupakan salah satu ayat penting yang menyeru Ahlulkitab kepada persatuan. Argumentasi ayat mulia ini berbeda dengan model argumentasi ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya, secara langsung menyeru kepada Islam, namun ayat ini menaruh perhatian pada poin-poin common antara Islam dan Ahlulkitab.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa apabila orang-orang tidak bersedia untuk bekerja sama denganmu untuk mencapai tujuan-tujuan sucimu, janganlah berlipat tangan dan berusahalah minimal pada tujuan-tujuan common, kalian dapat bekerja sama dengan mereka dan menjadikannya sebagai asas untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia kalian.



7.      Menafikan Rasialisme
Al-Qur’an, mencela segala jenis pemikiran rasialisme dan memandang bahwa seluruh manusia adalah anak dari satu ibu dan ayah dan tentu saja hampa keunggulan ras, kaum dan agama.Al-Qur’an dalam pesan universalnya menolak rasialisme, berseru,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Salah satu prinsip penting koeksistensi secara damai adalah persamaan dan kesetaraan umat manusia. Karena rasialisme adalah ajaran yang memandang dirinya lebih superior dan mendorong penganutnya untuk menghina bangsa-bangsa lainnya yang akan menyebabkan munculnya pelbagai problematika bagi umat manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua merupakan contoh nyata dari pelbagai problematika ini.
Perbedaan warna kulit, ras, bangsa tidak akan menyebabkan keutamaan seseorang atas orang lainnya. Dalam pandangan al-Qur’an, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan salah satu ayat-ayat dam tanda-tanda kebesaran Tuhan. Perbedaan ini merupakan media untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Apabila seluruh manusia satu bentuk, satu warna dan memiliki satu corak, tinggi dan berat maka kehidupan manusia ini akan berujung pada chaos dan anarki.
Menurut al-Qur’an, manusia tidak memiliki keutamaan dan kemuliaan atas manusia lainnya kecuali dengan ketakwaan dan penghambaan kepada Tuhan. Seluruh manusia adalah entitas yang membentuk “keluarga manusia” dan “umat yang satu”,
“Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah: 213)
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an menyeru manusia dengan seruan seluruh manusia, seperti “Ya Bani Adam” atau “Ya ayyuha al-insan” Seruan-seruan dan ekspresi-ekspresi ini menandaskan bahwa kemanusiaan merupakan satu makna common/biasa di antara para penghuni jagad raya. Orang-orang dari berbagai daerah tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya dari sisi kemanusiaan. Manusia sepanjang perjalanan sejarah dari sisi bahasa, warna kulit, ras, bangsa dan sebagainya adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam perspektif Islam, seluruh umat manusia merupakan putra-putri satu ayah dan ibu (Adam dan Hawa) dan segala perbedaan yang ada tidak akan menciderai kemanusiaan manusia ini.[4]

8.      Menyambut Tawaran Damai
“...Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (Qs. Al-Nisa: 90)
Terdapat dua kabilah di antara kabilah-kabilah Arab bernama “Bani Dhamrah” dan “Asyja’”; Kabilah Bani Dhamrah menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin dan kaum Asyja’ juga merupakan mitra Bani Dhamrah.
Setelah beberapa lama kaum Muslimin menerima kabar bahwa kaum Asyja’ berjumlah tujuh ratus orang mendatangi batalyon Mas’ud bin Rujailah dekat Madinah. Rasulullah Saw mengutus beberapa orang wakil kepada mereka untuk mencari tahu tujuan mereka di tempat itu. Mereka menyatakan, “Kami datang untuk mengikat perjanjian damai dengan Muhammad Saw. Tatkala Rasulullah Saw mengetahui hal ini, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengantarkan banyak kurma sebagai hadiah kepada mereka. Kemudian menghubungi mereka dan mereka menyatakan bahwa kami tidak memiliki kemampuan untuk berperang melawan musuh-musuh Anda karena jumlah kami sedikit; dan juga tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk berperang melawan Anda karena daerah kami berdekatan dengan daerah Anda; karena itu kami datang untuk menandatangani perjanjian damai. Pada waktu itu, ayat yang disebutkan di atas turun dan memberikan instruksi penting kepada kaum Muslimin dalam masalah ini.



9.      Mendorong Perdamaian Internasional
Islam semenjak permulaan telah mencanangkan prinsip-prinsip perdamaian dan melalui jalan tersebut, Islam telah memuluskan perdamaian internasional dan koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama-agama dunia.
Dalam masalah ini cukup bagi kita mengetahui bahwa perdamaian (shulh) adalah ruh agama Islam. Sebagaimana yang telah disebutkan redaksi Islam derivasinya dari kata sa-la-m dan atas dasar itu mengandung makna keselamatan dan ketenangan; karena itu al-Qur’an menitahkan seluruhnya untuk memasuki wilayah “salam dan perdamaian”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam wilayah keselamatan secara keseluruhan (baca: sempurna).” (Qs. Al-Baqarah: 208)

Sa-la-m lebih tinggi kedudukannya dan lebih lestari ketimbang perdamaian (shu-lh). Karena sa-la-m bermakna keselamatan dan keamanan serta tidak memiliki satu bentuk perdamaian yang bersifat temporal secara lahir.
Allah Swt menitahkan Rasulullah Saw bahwa apabila para musuhmu memasuki wilayah perdamaian dan condong kepadanya, maka engkau juga (Muhammad) memanfaatkan kesempatan itu dengan baik dan bersepakatlah dengan mereka, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (Qs. Al-Anfal: 61)

Kecintaan Islam terhadap perdamaian yang terjalin di antara manusia sedemikian mendalam sehingga memberikan berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa boleh jadi berdasarkan perilaku damai kaum Muslimin, antara mereka dan para musuh akan menjalin hubungan persahabatan,
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara musyrikin (melalui jalan Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Mumtahanah: 70)

Kelompok non-Muslim terbagi menjadi dua: Kelompok yang berdiri berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin, menghunus pedang di hadapan mereka, mengeluarkan kaum Muslimin dari rumah dan tempat kelahiran mereka secara paksa. Dan singkatnya, permusuhan dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin dinampakkan secara terang-terangan dalam ucapan dan perbuatan.
Taklif dan tugas kaum Muslimin dalam menghadapi kelompok ini adalah menghindar untuk menjalin apa pun bentuk hubungan. Contoh nyata dari persoalan ini adalah kaum musyrikin Mekkah, utamanya para pemimpin Quraisy; kelompok yang secara resmi menampakkan kebencian dan permusuhan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kelompok lainnya juga menolong mereka dalam hal ini.
Adapun kelompok kedua, meski mereka kafir dan musyrik, mereka tidak ada urusannya dengan kaum Muslimin. Kelompok ini tidak menampakkan kebencian juga tidak memerangi kaum Muslimin. Juga tidak melakukan tindakan pengusiran kaum Muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka; bahkan sekelompok dari mereka mengikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Karena itu, kaum Muslimin harus bersikap loyal dengan mereka dan berusaha berlaku adil terhadap mereka. Contoh nyata dari kelompok ini adalah kaum Khuzai yang menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin.
Singkatnya, sokongan terhadap perdamaian dan koekistensi secara damai dalam politik luar negeri merupakan program yang paling rasional dan paling dinamis dan Islam juga telah mencanangkan program seperti ini dan tetap mempersiapkan kekuatan untuk melakukan tindakan pembelaan (defence) pada kondisi-kondisi darurat.
Sedemikian pentingngnya perdamaian dan koeksistensi secara damai dalam Islam sehingga bahkan pada perhimpunan-perhimpunan kecil dan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan keluarga juga menitahkan untuk berdamai dan bertoleran. “wa al-shulh khair.”
Seluruh hal yang disampaikan di atas secara ringkas adalah sikap Islam terhadap masalah hak asasi manusia dan hak-hak warga negara, Muslim dan non-Muslimn, dalam masyarakat dan pemerintahan Islam. Sikap ini mengandung aturan paling mutakhir di dunia dewasa ini dan dengan lancang dapat dikatakan bahwa tiada satu pun maktab, school of thought dan lembaga-lembaga internasional yang terdapat di dunia yang mampu menunaikan hak asasi manusia seperti ini. Akhir kata, apabila seseroang dalam busana Islam, apakah ia merupakan aparat atau selain aparat, melanggar hak-hak warga maka perbuatannya tersebut termasuk sebagai kejahatan personalnya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Islam.[5]



2.      Pelaksanaan Syari’at Islam Oleh warga muslim dan non muslim di Aceh
Seperti yang kita tahu bahwa Aceh dikenal dengan Seuramoe Mekkah di Indonesia ini. Hal ini dikarenakan provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia ini yang mengesahkan syari’at Islam.
Sampai saat makalah ini ditulis Aceh masihlah menganut syari’at Islam. Namun hal ini menimbulkan tanda tanya, Apakah Aceh itu 100% warganya pemeluk agama Islam? Jawabanya tentu saja tidak, tentu saja ada pemeluk agama lain selain Islam di Aceh walaupun hanya minoritas. Menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 ada sekitar 4.413.244 jiwa atau sekitar 98.19% warga muslim di Aceh.[6]
Sekalipun aceh mayoritas penduduknya muslim namun bukan berarti kita harus melupakan minoritas. Dengan berlakunya syari’at Islam di Aceh kita pasti bertanya-tanya apakah warga non muslim dikenai hukum syari’at juga? Dan jawabannya tentu saja mereka dikenai hukum syari’at jika melanggar Qanun-qanun yang telah di sahkan di aceh hal ini dilakukan untuk menghormati pelaksanaan hukum syari’at yang berlaku di aceh. Untuk lebih jelasnya saya mengutip beberapa berita dari media untuk sumber referensi
“Warga non Muslim dapat dituntut di bawah hukum Syariah di Aceh jika mereka berpartisipasi dengan warga Muslim dalam tindak pidana yang tidak diatur oleh KUHP Indonesia, di bawah peraturan baru yang disahkan di provinsi tersebut akhir tahun lalu.”
“Pasal yang kontroversial ini terkandung dalam Qanun Hukum Acara Jinayat (QHAJ), hukum prosedur pidana Islam, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 13 Desember 2013.” Pasal ini mengatur ”pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama yang di antaranya warga non Musim", menurut salinan peraturan yang diperoleh Khabar Southeast Asia.
Peraturan ini juga menyatakan bahwa warga non Muslim yang ditangkap dapat memilih untuk diadili di pengadilan Syariah atau pengadilan negeri. Tetapi jika pelanggaran tersebut tidak diatur oleh KUHP Indonesia, pelanggar warga non Muslim akan dituntut di pengadilan Syariah. Peraturan baru ini memberi wewenang kepada polisi Syariah, jaksa, dan hakim untuk menahan pelanggar selama 15 sampai 60 hari jika diharuskan oleh penyelidikan, sidang atau hukuman. Sampai saat ini, aparat penegak Syariah hanya diizinkan untuk menangkap dan menahan pelanggar secara sebentar saja untuk memberi konseling mengenai norma-norma Syariah. Mereka tidak memiliki kewenangan untuk menempatkan para pelanggar ini ke dalam penjara.
Pasal yang berkaitan dengan warga non Muslim adalah untuk mencegah pelaku menghindari konsekuensi hukum ”jika tindak pidana tidak diatur berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)” kata Edrian.
"Tetapi menurut saya, tidak ada pelanggaran tindak pidana yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan lain di Indonesia. Jadi, pasal yang mengatur warga non Muslim hanya untuk antisipasi saja."
Para pakar hukum lainnya menyarankan bahwa warga non Muslim dapat dituntut di bawah QHAJ (Qanun Hukum Acara Jinayat) jika mereka menkonsumsi minuman keras atau berbuat mesum antara mereka yang belum menikah.[7]
Dari wacana media diatas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat tidaklah terbatas pada muslim saja, melainkan pada non muslim pula. Hal ini senada dengan pepatah yang menyatakan “Dimana bumi dipijak disitu langit di junjung.” Selain itu menurut Muhammad Yusron Hadi (ketua MIUMI Aceh),  jika di Banda Aceh ada UU yang mengizinkan untuk melaksanakan hukum pidana syariat Islam atau Qanun Jinayah, yakni UU Tahun 1999, 2001, 2006 dan 2013. Itupun dibuat oleh pusat untuk Provinsi Aceh. Dan juga tidak ada pasal dalam Undang-Undang (UU) dalam Qonun Jinayah yang bertentangan dengan UU tertinggi. Maka sangat masuk akal jika warga non muslim di aceh dikenakan hukum yang sama dengan warga muslim.[8]



BAB III
PENUTUP

1.1. Kesimpulan
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah jalan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) Allah SWT. Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad saw. secara lengkap dan sempurna, jelas dan mudah dimengerti, praktis untuk diamalkan, selaras dengan kepentingan dan hajat manusia di manapun, sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun.
Sedangkan HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap. kita sebagai warga negara yang baik tentunya haruslah saling menghormati satu sama lain dengan tidak membedakan ras, agama, golongan, jabaatan ataupun status sosial.
Sebenarnya HAM dan Syari’at Islam dapat berjalan bersama, akan tetapi ada beberapa hal di dalam syari’at yang tidak bisa di ganggu gugat oleh HAM karena syari’at mencakup lebih lengkap peraturan-peraturan hidup manusia.
Seperti yang penulis nyatakan diatas syari’at islam yang diberlakukan di Aceh berlaku bagi seluruhnya baik itu muslim maupun non muslim. Oleh karena itu jika ada non muslim yang melanggar syari’at maka akan dikenakan hukuman yang sama dengan warga muslim lainnya.


1.2. Saran
Yang pertama marilah kita tingkatkan ketaqwaaan kepada Allah SWT. Saran penulis yang lainnya juga adalah bahwa pelaksanaan hukum Syari’at di Aceh belumlah sempurna, masih ada banyak tempat-tempat maksiat terselubung yang belum disentuh oleh syari’at. Karena itu kita sebagai warga muslim hendaknya turut menegakkan dan menjaga Syari’at Islam guna kemaslahatan bersama.



DAFTAR PUSTAKA



Al-Nizhâm Al-Dauli Al-Jadid baina Al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana
Tafufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Nigeria, cetakan I (Pustaka Alvabet, Jakarta, 1 Desember 2004)
Rudy Tindage dan Rainy MP Hutabarat, Gereja dan Penegakan HAM, cetakan v (Kanisius, Yogyakarta, 2012)






[1] Tafufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Nigeria, cetakan I (Pustaka Alvabet, Jakarta, 1 Desember 2004) hal. 2-4
[2] http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-pandangan-islam-terhadap-ham_7.html
[3] Rudy Tindage dan Rainy MP Hutabarat, Gereja dan Penegakan HAM, cetakan v (Kanisius, Yogyakarta, 2012)
[4]  Al-Nizhâm Al-Dauli Al-Jadid baina Al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana, hal. 542-543.
[5] http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa5123
[6] http://aceh.bps.go.id/
[7] http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2014/03/22/feature-02
[8] http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/09/13/29400/warga-non-muslim-aceh-ahlul-dzimmah-diperlakukan-sama-dengan-muslim.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar