Paper
Tugas komunikasi data
Nama : Anshar
Nim : 140212043
Dosen Pembimbing: Andika Prajana
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMATIKA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Makalah............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
1.1. Syari’at Islam dan HAM.............................................................................................. 2
a. Syari’at Islam.......................................................................................................... 2
b. Hak Asasi Manusia (HAM)..................................................................................... 5
1.2.Pandangan Islam mengenai
HAM................................................................................ 9
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 23
1.1. Kesimpulan................................................................................................................... 23
1.2.Saran.............................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui Nanggroe Aceh
Darussalam dikenal dengan Seuramoe
Mekkah. Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya masyarakat aceh
sehingga aktivitas budaya termasuk hukum kerap berazaskan islam.
Aceh menganut sistem syari’at islam, meskipun di Aceh
mayoritas penduduk muslim tapi bukan berarti kita harus mengabaikan para
pemeluk agama lain yang notabenya minoritas. Bagi Umat Islam di Aceh jika
mereka melakukan kesalahan, mereka akan dihukum sesuai dengan qanun-qanun
syari’at Islam yang belaku di Aceh. Namun bagaimanakah dengan mereka yang non
muslim jika melakukan kesalahan? Apakah mereka juga akan dikenakan hukum
syari’at seperti pemeluk Islam? Ataukah mereka hanya dikenakan hukum
konstitusional yang berlaku di Negara tanpa terkena hukum syari’at Islam?
1.2. Rumusan
Masalah
a.
Apakah
hukum syari’at Islam dan HAM itu?
b.
Adakah
pertentangan antara syri’at Islam dengan HAM?
c.
Apakah
warga non muslim di Aceh terkena hukum syari’at jika melakukan kesalahan?
d.
Kesalahan
apa sajakah yang terkena hukum syari’at jika dilakukan oleh warga non muslim di
Aceh?
1.3.
Tujuan Makalah
a.
Membahas
mengenai hukum syari’at Islam bagi non muslim di Aceh.
b.
Membahas
mengenai syari’at Islam dan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Syari’at Islam dan HAM
A.
Syari’at Islam
Secara etimologis, Syari’ah, (jalan ke mata air), berasal dari
akar kata syara’a (yang ditetapkan atau didekritkan) di dalam Al-Qur’an, kata
syari’ah muncul satu kali dalam surah Al-Jaatsiyah ayat 18 dengan pengertian
jalan yang mesti diikuti.
"Kemudian Kami jadikan kamu, berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah
syariat itu, dan janganlah kamu ikuti, hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui." (Q.S. Al-Jaatsiyah:18)
Kata bentukan syir’ah juga digunakan
dalam ayat Al-Maidah ayat 48 dengan pengertian jalan.
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu," (Q.S. Al-Maidah:48)
Sementara
akar kata syara’a muncul dua kali sebagai subjeknya dalam surah Asy-Syuura ayat
13 dan juga tercantum dalam surah Al-‘Araaf ayat 163 dengan kaitannya dengan
orang orang yang membangkang kepada agama tuhan.
"Dia telah mensyariatkan bagi kamu (Muhammad), tentang agama, (seperti) apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa, yaitu: 'Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah
tentangnya'. Amat berat bagi orang-orang musyrik, (untuk mengikuti) agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu, orang yang
dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada (agama-)Nya, orang yang kembali
(kepada jalan-Nya)." (Q.S. Asy-Syuura:13)
"Dan tanyakanlah kepada Bani Israil, tentang negeri yang
terletak di dekat laut, ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka, ikan-ikan
(yang berada di sekitar) mereka, terapung-apung di permukaan air, dan di
hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah
Kami mencoba mereka, disebabkan mereka berlaku fasik." (Al-‘Araaf :163)
Sebgai
hukum tuhan, Syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat Islam.
Sebagian umat Islam meyakini syari’at Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
baik secara individual maupun kolektif. Kecendrungan mendefinisikan syari’at
islam secara luas semacam ini, sekalipun bermasalah, tetap muncul di dunia
Islam hingga kini.
Syari’at
Islam biasanya di klasifikasikan kedalam ‘Ibadah dan Mu’amalah: ‘Ibadah
mengatur hubungan manusia dengan Allah sedangkan Mu’amalah mengatur hubungan
manusia dengan manusia. Ia ditujukan untuk melindungi agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
Dengan
demikian, menurut batasan yang disebutkan diatas, syari’at mengatur seluruh
perilaku public dan privat manusia. Ia memiliki aturan tentang kebersihan
pribadi, perilaku seksual, dan membesarkan anak. Ia mengemukanakan
aturan-aturan spesifik tentang shalat, puasa, sedekah dan berbagai masalah
religious lainnya. Ketentuan tentang masalah keperdataan dan kepidanaan juga
tercakup dalam syari’at. Disamping itu syari’at mengatur bagaimana individu
berperilaku di dalam masyarakat, bagaimana suatu kelompok berinteraksi dengan
kelompok lain, bagaimana mengatasi masalah perbatasan, perselisihan, konflik
dan peperangan antar negara, serta masalah kelompok minoritas di dalam negara.
Dalam pandangan kaum muslimin, syari’at bahkan dapat digunakan sebagai sarana
untuk memecahakan masalah sipil dan kriminalitas internasional.
Untuk
berbagai ketentuan, syari’at mengemukakan sejumlah hukuman ata pelanggarannya.
Khusus mengenai pidana, ada tiga katagori yang lazim dikemukakan yaitu:
a.
Hadd/ hudud, adalah
perbuatan yang dilarang dan dikenakan hukuman oleh Al-Qur’an, mencakup zina,
khamar, pencurian, dan perampokan
b.
Qishash, berkaitan dengan
kejahatan terhadap person (perorang) seperti pembunuhan, penganiayaan,
pemukulan, serta pengeroyokan. Qishash berupa hukuman retaliasi (pembalasan)
yang ditetapkan syari’at. Tetapi keluarga korban (ahli waris) dapat memafkan
perbuatan tersebut dengan uang tebusan yang disebut diyat.
c.
Ta’zir, adalah kejahatan
terhadap kepentingan public dan privat yang tidak ditetapkan dalam hudud dan
qishash oleh karena itu hukumannya diserahkan kepada hakim dan hukumannya bervariasi
tergantung dari yang memvonis dan yang menerima vonis. Hukuman ta’zir bisa
berupa hukuman mati, cambuk, penjara, pengasingan dan lainnya tergantung dari
kesalahan si terdakwa.
Dalam
teorinya seluruh pelanggaran selalu diadili oleh hakim. Kitab-kitab fiqh selama
berabad-abad selalu mengulang-ulang yurisdiksi teoritis ini. Tapi hukum yuridis
dalam hukum pidana pada faktanya telah hilang dari tangan hakim sejak masa
awal-awal islam. Ada beberapa factor yang menyebabkan hilangnya yurisdiksi
tersebut antara lain:
a.
Syari’at hanya mencakupkan
sejumlah tindakan kriminal beserta hukumannya serta melepaskan tindakan
kriminal lain kedalam wilayah ta’zir.
b.
Hukum hukum pembuktian dalam
syari’at terlalu restriktif untuk diterapkan dalam suatu sistem kriminal yang
efisien.
c.
Pemimpin negara dan negara
islam tidak dapat membiarkan tindakan kriminal yang mengancam keamanan negara
diadili oleh otoritas keagamaan yang loyal pada sekumpulan hukum yang tidak
dapat mereka control.
Secara
umum, ketentuan syari’at terbagi dalam 5 katagori utama (al-ahkam al-khamsa)
yaitu:
a.
Fardhu: yang diwajibkan
b.
Haram: yang dilarang
c.
Mandub/sunnah: yang
disarankan
d.
Makruh: yang disarankan
untuk ditinggalkan
B. Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara etimologi hak merupakan unsur
normatif yang berfungsi sebagai pedoman prilaku, melindungi kebebasan,
kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan
martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang
dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satu pun makhluk
mengintervensinya apalagi mencabutnya.[2]
Dalam pasal 1 UU. No. 39 Tahun 1999
tentang HAM disebutkan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar
atau hak-hak pokok yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak lahir sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya, yaitu umat manusia tanpa
terkecuali.
Tidak jelas sejak kapan istilah HAM ini
muncul, baik dalam bahasa Inggris (human rights) maupun dalam bahasa Indonesia
(Hak Asasi Manusia). Kesadaran bahwa manusia sebagai individu maupun sebagai
kelompok memiliki hak asasi disamping kewajiban-kewajiban asasi sudah lama
muncul, sebagaimana trlihat dalam banyak tulisan kuno, termasuk kitab-kitab
suci agama.
Perumusan HAM secara jelas dan baku
barulah dilakukan sejak tahun 1945. Namun demikian tidak ada definisi tunggal
untuk itu sehingga kita dapat menemukan berbagai macam definisi yang saling
melengkapi.
Salah satu contoh definisi atau
pengertian HAM dapat kita kutip dari tulisan Leah Levin “Konsepsi tentang hak-hak asasi manusia mempunyai dua makna dasar. Yang
pertama, ialah bahwa hak hakiki dan tak terpisahkan menjadi hak seseorang hanya
karena ia adalah manusia. Hak hak itu berupa hak –hak moral yang berasal dari
setiap umat manusia. Makna keduan dari hak-hak asasi manusia adalah hak-hak
hukum, baik secara nasional maupun internasional.”
Pengertian lain dapat kita ambil dari
buku yang disusun oleh komnas HAM. “Hak
Asasi Manusia mencakup segala bidang kehidupan manusia baik sipil, politik,
maupun ekonomi, social dan kebudayaan. Kelima-limanya tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Hak-hak asasi politik dan sipil tidak ada artinya apabila
rakyat masih harus bergeut dengan kemiskinan dan penderitaan. Tetapi, di lain
pihak, persoalan kemiskinan, keamanan dan lainnya tidak dapat digunakan secara
sadar untuk melakukan pelanggaran HAM dan kebebasan politik serta social
masyarakat. HAM tidak mendukung individualisme, melainkan melindunginya
membendungnya dengan melindungi individu, kelompok, dan golongan, di tengah
kekerasan kehidupan modern. HAM merupakan tanda solidaritas nyata suatu bangsa
dengan warganya yang lemah.”
Salah satu dokumen paling dasar pada
zaman modrn ini adalah Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration
of Human Rights) yang dideklerasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
Dokumen ini lahir antara lain dilatarbelakangi oleh berbagai pengalaman buruk
umat manusia pada perang dunia I dan II. Di dalam dokumen yang terdiri dari
mukadimah dan 30 pasal ini dikemukakan
rincian martabat dan Hak manusia yang tercakup dalam HAM yaitu:
1.
Pengakuan
bahwa seseorang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama.
2.
Hak
atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan.
3.
Hak
untuk tidak diperbudak.
4.
Hak
untuk dianiaya dan diperlakukan secara kejam.
5.
Hak
atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum.
6.
Kesamaan
di hadapan hukum dn hak perlindungan hukum yang sama.
7.
Hak
atas pengadilan yang efektif; hak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dibuang
secara sewenang-wenang.
8.
Hak
untuk mengemukakan pendapat di muka umum.
9.
Hak
untuk dianggap tak bersalah.
10. Hak untuk tidak diganggu dalam urusan pribadi, keluarga, hubungan
surat menyurat.
11. Hak untuk tidak dilanggar kehormatan dan nama baiknya.
12. Hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan
batas-batas tiap negara.
13. Hak untuk meninggalkan suatu negeri termasuk negerinya sendiri dan
hak untuk kembali ke negerinya sendiri.
14. Hak untuk mencari dan mendapat tempat pelarian di negeri lain.
15. Hak atas suatu kewarganegaraan.
16. Hak untuk mencari jodoh dan melangsungkan pernikahan dengan dasar
suka sama suka dan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan dan agama.
17. Hak untuk kepemilikan, baik untuk perorangan maupun bersama dengan
orang lain.
18. Hak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama, termasuk
kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama
atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat
umum maupun tersendiri.
19. Hak dan kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat,
termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat.
20. Hak dan kebebasan untuk berkumpul dan bermusyawarah, termasuk hak
untuk tidak dipaksa memasuki suatu perkumpulan.
21. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri,
termasuk kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan
negerinya berdasarkan kedaulatan rakyat.
22. Hak atas jaminan social, termasuk hak ekonomi, social dan
kebudayaan yang perlu guna martabatnya dan guna perkembangan bebas pribadinya.
23. Hak atas upah pekerjaan dan upah yang adil, yang menjamin
penghidupannya bersama dengan keluarganya, termasuk hak mendirikan dan memasuki
serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
24. Hak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan jam kerja dan
menerima upah pada hari-hari liburan.
25. Hak atas tingkat kehidupan yang menjamin kesehatan dan keadaan
baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk hak ibu dan anak-anak untuk
mendapat perawatan dan keadaan baik untuk mendapat perawatan dan bantuan
istimewa, termasuk anak yang lahir diluar perkawinan.
26. Hank untuk mendapat pengajaran dengan gratis, setidaknya pada
tingkat rendah/dasar.
27. Hak untuk turut serta dengan bebas dalam kebudayaan masyarakat,
termasuk mendapat perlindungan atas hasil kerja dan ciptaannya.
28. Hak atas susunan social internasional.
29. Kewajiban terhadap suatu masyarakat, termasuk ketundukan terhadap
undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas
hak-hak dan kebebasan orang lain.
30. Tidak berhak melakukan suatu kegiatan atau perbuatan yang
bertujuan untuk merusak salah satu hak dan kebebasan yang sudah dikemukakan
pada butir-butir sebelumnya.
Dokumen universal ini kemudian disusul
dan dirinci dengan sangat banyak dokumen lain, baik yang bersifat internasional
maupun yang bersifat nsional. Dari sekian banyak dokumen ini terlihat bahwa
semakin banyak hal menyangkut HAM yang perlu dan sudah diatur. Tetapi masih banyak
juga yang belum.
Dari sekian banyak dokumen diatas
beberapa diantaranya diadopsi dan diratifikasi di Indonesia. Diantaranya
adalah:
a.
Perjanjian
internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya (piagam ecosco)
b.
Perjanjian
internasional tentang hak-hak sipil dan politik (piagam cipol)
Isi dari dua piagam diatas memberi
banyak hak kepada rakyat atau warga negara dari yang memberlakukan
dokumen-dokumen ini untuk menikmati berbagai hak di bidang ekonomi, social,
budaya dan politik, misalnya hak untuk menikmati kekayaan negara, hak untuk
mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak dan lain sebagainya.
Sebagian besar isi deklarasi universal
HAM ini maupun turunan-turunanya sudah diadopsi dan diratifikasi dalam UUD 1945
hasil amandemen I-IV. Dihubungkan dengan pancasila sebagai dasar negara, hal
ini tercantum pada sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam
hubungan dengan sila-sila lainnya.[3]
1.2. Pandangan Islam
mengenai HAM
Mengingat bahwa agama
Islam merupakan agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam
memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal,
sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut adalah hak asasi manusia
dan berbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat dewasa ini. Masalah ini
dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan nampak pada sebagian hak
manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota dalam pandangan Islam.
Penghargaan Al-Qur’an
terhadap HAM dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Yaitu:
a.
Hak hidup
Hak pertama warga yang mengemuka dalam
Islam dan sangat penting adalah hak untuk hidup. Mengingat seluruh hak
bergantung pada hidupnya seseorang. Artinya jiwa dan hidup manusia memiliki
kehormatan dan tiada seorang pun yang memiliki hak untuk melanggarnya. Dan
dalam keyakinan dan ideologi Islam, sedemikian manusia mulia dan penuh nilai
sehingga falsafah keberadaannya adalah untuk manusia. Tercantum dalam surah
Al-Maidah ayat 32
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan
dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
dimuka bumi “. (Q.S. Al-Maidah : 32)
b.
Hak hidup janin
Dalam pemerintahan Islam, di samping hak
hidup memiliki kehormatan maka demikian juga hak sebelum hidup ketika manusia
masih berada pada masa janin. Menjaga dan menunaikan hak ini diatur sepenuhnya
dalam Islam. Atas dasar itu, menggugurkan janin termasuk kejahatan dan bahkan
Islam menjaga dan mendukung harta benda dan kepunyaan janin.
Hal ini dilakukan supaya harta benda,
kekayaan mereka tidak diganggu pada masa janin dan masa kecil yang termasuk
bagian dari empat prinsip maqâshid al-syari’ah. Atas dasar itu, anak yang masih
dalam kandungan memiliki warisan dan wasiat. Dan hal ini menandaskan penjagaan
hak-hak materialnya sebelum ia lahir ke dunia.
c.
Hak-hak Sosial Warga Kota dalam Islam
Dr. Abdulkarim Zaidan
seorang juris dan pakar hukum membagi hak-hak orang dalam pemerintahan Islam
menjadi dua bagian:
A. Hak-hak Politik:
Hak-hak politik dalam
pandangan para pakar hukum adalah hak-hak yang diperoleh seseorang karena ia
merupakan anggota dan bagian dari sekumpulan masyarakat seperti hak untuk
memilih, hak untuk dipilih, memikul tugas-tugas kemasyarakatan dan tanggung
jawab sosial, hak musyawarah yang pada hakikatnya merupakan hak umat dalam
memilih pemimpin pemerintahan, hak untuk memakzulkan dan memecat presiden
karena hubungan rakyat dan presiden dalam hal ini adalah hubungan wakil dan
yang diwakili yaitu rakyat sebagai yang diwakili dan presiden adalah yang
mewakili.
B. Hak-hak Umum
Hak-hak umum yang
disebut sebagai hak-hak bagi manusia karena ia merupakan bagian dan anggota
masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Hak-hak umum ini
ditetapkan untuk menjaga keselamatan, harta dan kebebasan manusia.
1.
Kebebasan Berakidah
Pada sebagian ayat
al-Qur’an dijelaskan prinsip kebebasan berakidah. Artinya secara asasi
mengikuti keyakinan-keyakinan hati dan masalah-masalah nurani hanya bermakna
tatkala tidak terdapat desakan dan paksaan di dalamnya.
“Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (Qs. Al-Baqarah: 256)
“Dan
jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi
orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus: 99)
“Dan
katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin
(beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah
ia kafir.” (Qs. Al-Kahfi: 29)
“Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya). “(Qs. Al-An’am: 107)
Iman kepada Tuhan dan
prinsip-prinsip Islam sekali tidak dapat dipaksakan, melainkan hanya dapat
dilakukan dengan logika dan penalaran. Pikiran dan ruh hanya dapat dimasuki
dengan logika dan penalaran. Penting kiranya hakikat-hakikat dan
perintah-perintah Ilahi dijelaskan sehingga orang-orang memahami dan
menerimanya dengan kehendak dan ikhtiar yang mereka miliki.
Dimensi lain kebebasan
adalah kebebasan berpikir dan beride. Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia
diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia
dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan
merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan,
kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan
untuk meraup kesempurnaan.
"Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat: 53)
"Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Qs. Al-Dzariyat: 20-21)
2.
Kebebasan Berekspresi
Pemerintahan Islam memberikan kebebasan
penuh sehubungan dengan masalah kebebasan berekspresi dan menyampaikan
pendapat. Tuhan mengaruniai manusia bersaman dengan menciptakan manusia salah
satu anugerah yang disebut sebagai “bayan.”
“(Tuhan)
Yang Maha Pemurah. (Dia yang) Telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah
menciptakan manusia. Dia mengajarkan bayân (ucapan yang dapat mengungkap isi
hati) kepadanya.” (Qs. Al-Rahman: 1-4)
Bayân adalah ekspresi
dan ucapan yang digunakan untuk mengungkap isi hati. Masalah bayân bukanlah
semata-mata masalah formal dan sekedar ekspresi lisan. Allah Swt
menganugerahkan seluruh nikmat eksistensial kepada manusia, sehingga nikmat
tersebut dimanfaatkan secara maksimal, optimal dan pada tempatnya yang benar
dan supaya mereka mengedepankan ajaran-ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan
anugerah utama dan manusia dapat memanfaatkan nikmat ini dengan benar dan
secara maksimal. Apabila manusia mengungkapkan gagasan dan mengekspresikan
pikirannya dalam pancaran cahaya al-Qur’an maka hal itu akan sangat berguna
bagi manusia.
Islam memberikan
kebebasan kepada manusia untuk mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Demikian
juga memberikan keluasan untuk mendengar pemikiran orang lain dan memilih yang
benar dari pikiran-pikiran tersebut. Karena dalam pemerintahan Islam, ruang
dialog dan tukar pendapat terbuka lebar. Namun dengan syarat harus berdasarkan
hikmah dan “mau’izah hasanah” serta tidak melanggar pemikiran dan keyakinan
orang lain.
Teks al-Qur’an
menyatakan dengan tegas tentang kebebasan berekspresi dan berdialog,
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.”
(Q.S. Az-Zumar: 18)
Pada ayat ini terdapat beberapa poin
asasi yang harus ditelisik sebagaimana berikut:
a.
Kebebasan
bersekspresi bagi seluruh hamba Tuhan karena pada ayat tersebut dinyatakan
dengan redaksi “qaul” (perkataan) yaitu apa pun bentuk perkataan dan ucapan.
b.
Perkataan dan kebebasan berekspresi dan berpikir
tidak bersifat satu arah. Tentu saja ada dialog di dalamnya. Ada yang mendengar
juga ada yang mengungkapkan pendapatnya. Pikiran-pikiran orang lain ditelaah
kemudian memilih yang terbaik dari pikiran dan gagasan tersebut.
c.
Para
hamba yang memperoleh petunjuk adalah orang-orang yang mendengarkan pendapat,
gagasan dan pikiran orang lain. Dan menerima pendapat, gagasan dan pikiran yang
lebih unggul dan lebih baik. Demikianlah puncak kebebasan berekspresi dalam
Islam yang mencakup seluruh manusia dengan syarat tidak menciderai dan
melanggar batas-batas dan hak-hak orang lain.
3.
Dialog secara damai
Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan
“berdialog secara damai” dengan Ahlul kitab dan hubungannya dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an
menyatakan:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka,
dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan
kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut: 46)
Pada ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi
dengan para penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan
adalah mujâdalah dan dialog dengan cara lebih lembut
dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi
para nabi dan kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk
mendengarkan ayat-ayat Ilahi.
Al-Qur’an menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela
orang-orang kafir dan para penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka
juga akan menggunakan cara yang sama,
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs.
Al-An’am: 108)
Mengingat penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan
logika, argumentasi dan model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat
kepada sebagian orang beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap
masalah penyembahan berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah
berhala, untuk tidak menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka.
Islam memandang perlu ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan
santun dalam menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling
buruk dan khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan
dan fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh
dan bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
4.
Menerima Hak-hak kaum Minoritas
Berdasarkan teks al-Qur’an tiada paksaan
dalam menerima agama. Hal ini menandaskan kebebasan dalam menerima keyakinan
dan pikiran. Kebebesan seperti ini merupakan bentuk manifestasi keadilan
sosial; sebagaimana warga Muslim lainnya, juga mencakup seluruh warga
non-Muslim tanpa adanya diskriminasi.
Terkait dengan menunaikan keadilan, al-Qur’an menyatakan dalam
bentuk khusus dengan menitahkan kepada kaum Muslimin untuk bersikap adil
terhadap mereka,
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S.
al-Mumtahanah :8)
Seluruh upaya, harus dilakukan bagi kaum
Mukmin dan Muslim untuk meraih keridhaan dan kecintaan Allah Swt. Pada ayat
ini, Allah Swt menyatakan cinta kepada orang-orang yang berlaku adil. Siapakah
orang yang berlaku adil ini? Mereka adalah orang-orang yang berlaku baik dan
adil kepada non-Muslim.
Sehubungan dengan Ahlulkitab, Allah Swt
memerintahkan Nabi Muhammad SAW bahwa apabila engkau menunaikan dan berlaku
adil terhadap mereka,
“Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta
keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah
dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi
mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang adil.“ (Qs.
Al-Maidah: 42)
Rasulullah SAW dalam membela hak-hak
warga dan menyediakan keamanan personal (dzhimma) menyebut mereka yang
melanggar hak-hak mereka sebagai musuhnya. Sikap demikian merupakan puncak
kepedulian dan pembelaan terhadap hak-hak warga non-Muslim.
Para juris menjelaskan beberapa kaidah
sekaitan dengan kebebasan-kebebasan personal non-Muslim. Dalam kaidah tersebut,
hak-hak kedua belah pihak terjaga. Hubungan warga kota dengan yang lainnya
demikian juga hubungan penguasa Islam terhadap mereka, pendeknya
hubungan-hubungan sosial di antara mereka berasaskan pada penegakan dan
penunaian keadilan.
5.
Keadilan adalah Asas
Hak-hak Sosial dalam Islam
Poros dan fokus seruan samawi dan
silsilah dakwah para nabi adalah keadilan bagi umat manusia. Dalam dakwah para
nabi, kita jumpai poin-poin common yaitu, setelah menyeru kepada Tuhan Yang
Esa, dan menjauhi thagut (tiran) dalam masalah akidah, seruan para nabi adalah
seruan keadilan sosial.
Keadilan sesuai dengan definisinya
adalah persamaan dan kesamaan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan
neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia
bertindak adil.” (Qs. Al-Hadid: 25)
Agar seluruh manusia merasakan keadilan
dan menuaikan hak-hak warga, redaksi ayat dinyatakan dengan kalimat, “al-nas”
(manusia). Keadilan merupakan sebuah kebenaran yang menjadi masterpiece seruan
dan dakwa para nabi. Tugas para nabi adalah menunaikan keadilan bagi umat
manusia tanpa memandang warna kulit, ras, suku bangsa, kaya, miskin, beriman,
tidak beriman dan lain sebagianya. Berdasarkan keadilan, seluruh hak-hak warga
akan dapat teralisir dengan baik. Karena keadilan merupakan substansi yang
menata dan mengatur seluruh urusan dan berbagai proses yang berkuasa dalam
sistem kehidupan manusia.
Meminjam ungkapan Dr. Muhammad Ammarah,
“Peradaban Islam, semenjak berabad lalu, memandang dan mengamalkan hak asasi
manusia tidak hanya sebagai hak asasi manusia melainkan sebagai kewajiban Ilahi
dan taklif syar’i manusia.” Sedemikian sehingga tidak dibenarkan bagi manusia
(kaum Muslimin) mengabaikannya atau bertindak berlebihan atau memandang enteng
masalah ini. Menjaga keselamatan jiwa, akal, agama, kehormatan, harta, negara,
ilmu, keadilan, persamaan, kebebasan, partisipasi manusia dalam urusan-urusan
kemasyarakatan melalui musyawarah, amar makruf dan nahi mungkar, bukan hanya
masalah-masalah hak asasi manusia.
Kewajiban-kewajiban ini adalah
kewajiban-kewajiban Ilahiah dan tugas syar’i kaum Muslimin. Kewajiban ini tidak
semata-mata dijalankan sesuai keinginan pribadi, kapan saja mau dilakukan
dikerjakan dan kapan saja ingin ditinggalkan ditinggalkan begitu saja. Artinya
kewajiban-kewajiban ini bukan semata-mata sebuah deklarasi atau maklumat saja,
melainkan kesemua ini merupakan kewajiban Ilahi dan taklif syar’i yang harus
dikerjakan. Mereka yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menunaikan
kesemua ini, apabila tidak dikerjakan dengan baik, maka mereka akan dihukum dan
ditindak.
6.
Memberikan Perhatian terhadap Prinsip-prinsip Bersama
Islam adalah sebuah ajaran yang semenjak
kemunculannya telah mempresentasikan slogan koeksistensi kepada seluruh
penduduk dunia. Ajaran ini menyeru kepada Ahlulkitab,
“Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).” (Qs. Ali Imran: 64)
Ayat ini merupakan salah satu ayat
penting yang menyeru Ahlulkitab kepada persatuan. Argumentasi ayat mulia ini
berbeda dengan model argumentasi ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya,
secara langsung menyeru kepada Islam, namun ayat ini menaruh perhatian pada
poin-poin common antara Islam dan Ahlulkitab.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum
Muslimin bahwa apabila orang-orang tidak bersedia untuk bekerja sama denganmu
untuk mencapai tujuan-tujuan sucimu, janganlah berlipat tangan dan berusahalah
minimal pada tujuan-tujuan common, kalian dapat bekerja sama dengan mereka dan
menjadikannya sebagai asas untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia kalian.
7.
Menafikan Rasialisme
Al-Qur’an, mencela segala jenis
pemikiran rasialisme dan memandang bahwa seluruh manusia adalah anak dari satu
ibu dan ayah dan tentu saja hampa keunggulan ras, kaum dan agama.Al-Qur’an
dalam pesan universalnya menolak rasialisme, berseru,
“Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Salah satu prinsip penting koeksistensi
secara damai adalah persamaan dan kesetaraan umat manusia. Karena rasialisme
adalah ajaran yang memandang dirinya lebih superior dan mendorong penganutnya
untuk menghina bangsa-bangsa lainnya yang akan menyebabkan munculnya pelbagai
problematika bagi umat manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua merupakan contoh
nyata dari pelbagai problematika ini.
Perbedaan warna kulit, ras, bangsa tidak
akan menyebabkan keutamaan seseorang atas orang lainnya. Dalam pandangan
al-Qur’an, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan salah satu ayat-ayat dam
tanda-tanda kebesaran Tuhan. Perbedaan ini merupakan media untuk mengenal satu
dengan yang lainnya. Apabila seluruh manusia satu bentuk, satu warna dan
memiliki satu corak, tinggi dan berat maka kehidupan manusia ini akan berujung
pada chaos dan anarki.
Menurut al-Qur’an, manusia tidak
memiliki keutamaan dan kemuliaan atas manusia lainnya kecuali dengan ketakwaan
dan penghambaan kepada Tuhan. Seluruh manusia adalah entitas yang membentuk
“keluarga manusia” dan “umat yang satu”,
“Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah: 213)
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an menyeru manusia dengan seruan
seluruh manusia, seperti “Ya Bani Adam” atau “Ya ayyuha al-insan” Seruan-seruan
dan ekspresi-ekspresi ini menandaskan bahwa kemanusiaan merupakan satu makna
common/biasa di antara para penghuni jagad raya. Orang-orang dari berbagai
daerah tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya dari sisi kemanusiaan.
Manusia sepanjang perjalanan sejarah dari sisi bahasa, warna kulit, ras, bangsa
dan sebagainya adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam perspektif
Islam, seluruh umat manusia merupakan putra-putri satu ayah dan ibu (Adam dan
Hawa) dan segala perbedaan yang ada tidak akan menciderai kemanusiaan manusia
ini.[4]
8.
Menyambut Tawaran Damai
“...Kecuali orang-orang
yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu
telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati
mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah
menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu
pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak
memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi
jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (Qs. Al-Nisa: 90)
Terdapat dua kabilah di antara
kabilah-kabilah Arab bernama “Bani Dhamrah” dan “Asyja’”; Kabilah Bani Dhamrah
menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin dan kaum Asyja’ juga
merupakan mitra Bani Dhamrah.
Setelah beberapa lama kaum Muslimin
menerima kabar bahwa kaum Asyja’ berjumlah tujuh ratus orang mendatangi
batalyon Mas’ud bin Rujailah dekat Madinah. Rasulullah Saw mengutus beberapa
orang wakil kepada mereka untuk mencari tahu tujuan mereka di tempat itu.
Mereka menyatakan, “Kami datang untuk mengikat perjanjian damai dengan Muhammad
Saw. Tatkala Rasulullah Saw mengetahui hal ini, beliau memerintahkan kaum
Muslimin untuk mengantarkan banyak kurma sebagai hadiah kepada mereka. Kemudian
menghubungi mereka dan mereka menyatakan bahwa kami tidak memiliki kemampuan
untuk berperang melawan musuh-musuh Anda karena jumlah kami sedikit; dan juga
tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk berperang melawan Anda karena
daerah kami berdekatan dengan daerah Anda; karena itu kami datang untuk
menandatangani perjanjian damai. Pada waktu itu, ayat yang disebutkan di atas
turun dan memberikan instruksi penting kepada kaum Muslimin dalam masalah ini.
9.
Mendorong Perdamaian Internasional
Islam semenjak permulaan telah
mencanangkan prinsip-prinsip perdamaian dan melalui jalan tersebut, Islam telah
memuluskan perdamaian internasional dan koeksistensi secara damai di antara
pemeluk agama-agama dunia.
Dalam masalah ini cukup bagi kita
mengetahui bahwa perdamaian (shulh) adalah ruh agama Islam. Sebagaimana yang
telah disebutkan redaksi Islam derivasinya dari kata sa-la-m dan atas dasar itu
mengandung makna keselamatan dan ketenangan; karena itu al-Qur’an menitahkan
seluruhnya untuk memasuki wilayah “salam dan perdamaian”
“Hai orang-orang yang
beriman, masuklah ke dalam wilayah keselamatan secara keseluruhan (baca:
sempurna).” (Qs. Al-Baqarah: 208)
Sa-la-m lebih tinggi kedudukannya dan
lebih lestari ketimbang perdamaian (shu-lh). Karena sa-la-m bermakna
keselamatan dan keamanan serta tidak memiliki satu bentuk perdamaian yang
bersifat temporal secara lahir.
Allah Swt menitahkan
Rasulullah Saw bahwa apabila para musuhmu memasuki wilayah perdamaian dan
condong kepadanya, maka engkau juga (Muhammad) memanfaatkan kesempatan itu
dengan baik dan bersepakatlah dengan mereka, “Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (Qs. Al-Anfal: 61)
Kecintaan Islam terhadap perdamaian yang
terjalin di antara manusia sedemikian mendalam sehingga memberikan berita
gembira kepada orang-orang beriman bahwa boleh jadi berdasarkan perilaku damai
kaum Muslimin, antara mereka dan para musuh akan menjalin hubungan
persahabatan,
“Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang antara kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara
musyrikin (melalui jalan Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Mumtahanah: 70)
Kelompok non-Muslim terbagi menjadi dua:
Kelompok yang berdiri berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin, menghunus pedang
di hadapan mereka, mengeluarkan kaum Muslimin dari rumah dan tempat kelahiran
mereka secara paksa. Dan singkatnya, permusuhan dan kebencian terhadap Islam
dan kaum Muslimin dinampakkan secara terang-terangan dalam ucapan dan
perbuatan.
Taklif dan tugas kaum Muslimin dalam
menghadapi kelompok ini adalah menghindar untuk menjalin apa pun bentuk
hubungan. Contoh nyata dari persoalan ini adalah kaum musyrikin Mekkah,
utamanya para pemimpin Quraisy; kelompok yang secara resmi menampakkan
kebencian dan permusuhan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kelompok lainnya juga
menolong mereka dalam hal ini.
Adapun kelompok kedua, meski mereka
kafir dan musyrik, mereka tidak ada urusannya dengan kaum Muslimin. Kelompok
ini tidak menampakkan kebencian juga tidak memerangi kaum Muslimin. Juga tidak
melakukan tindakan pengusiran kaum Muslimin dari rumah dan kampung halaman
mereka; bahkan sekelompok dari mereka mengikat perjanjian damai dengan kaum
Muslimin. Karena itu, kaum Muslimin harus bersikap loyal dengan mereka dan
berusaha berlaku adil terhadap mereka. Contoh nyata dari kelompok ini adalah
kaum Khuzai yang menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin.
Singkatnya, sokongan terhadap perdamaian
dan koekistensi secara damai dalam politik luar negeri merupakan program yang
paling rasional dan paling dinamis dan Islam juga telah mencanangkan program
seperti ini dan tetap mempersiapkan kekuatan untuk melakukan tindakan pembelaan
(defence) pada kondisi-kondisi darurat.
Sedemikian pentingngnya perdamaian dan
koeksistensi secara damai dalam Islam sehingga bahkan pada
perhimpunan-perhimpunan kecil dan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan keluarga
juga menitahkan untuk berdamai dan bertoleran. “wa al-shulh khair.”
Seluruh hal yang disampaikan di atas
secara ringkas adalah sikap Islam terhadap masalah hak asasi manusia dan
hak-hak warga negara, Muslim dan non-Muslimn, dalam masyarakat dan pemerintahan
Islam. Sikap ini mengandung aturan paling mutakhir di dunia dewasa ini dan
dengan lancang dapat dikatakan bahwa tiada satu pun maktab, school of thought
dan lembaga-lembaga internasional yang terdapat di dunia yang mampu menunaikan
hak asasi manusia seperti ini. Akhir kata, apabila seseroang dalam busana
Islam, apakah ia merupakan aparat atau selain aparat, melanggar hak-hak warga
maka perbuatannya tersebut termasuk sebagai kejahatan personalnya dan tidak ada
sangkut pautnya dengan Islam.[5]
2.
Pelaksanaan Syari’at Islam Oleh warga muslim dan non muslim di
Aceh
Seperti yang kita tahu bahwa Aceh
dikenal dengan Seuramoe Mekkah di Indonesia ini. Hal ini dikarenakan provinsi Aceh
merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia ini yang mengesahkan syari’at
Islam.
Sampai saat makalah ini ditulis Aceh
masihlah menganut syari’at Islam. Namun hal ini menimbulkan tanda tanya, Apakah
Aceh itu 100% warganya pemeluk agama Islam? Jawabanya tentu saja tidak, tentu
saja ada pemeluk agama lain selain Islam di Aceh walaupun hanya minoritas. Menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 ada
sekitar 4.413.244 jiwa atau sekitar 98.19% warga muslim di
Aceh.[6]
Sekalipun aceh
mayoritas penduduknya muslim namun bukan berarti kita harus melupakan
minoritas. Dengan berlakunya syari’at Islam di Aceh kita pasti bertanya-tanya
apakah warga non muslim dikenai hukum syari’at juga? Dan jawabannya tentu saja
mereka dikenai hukum syari’at jika melanggar Qanun-qanun yang telah di sahkan
di aceh hal ini dilakukan untuk menghormati pelaksanaan hukum syari’at yang
berlaku di aceh. Untuk lebih jelasnya saya mengutip beberapa berita dari media
untuk sumber referensi
“Warga non Muslim dapat
dituntut di bawah hukum Syariah di Aceh jika mereka berpartisipasi dengan warga
Muslim dalam tindak pidana yang tidak diatur oleh KUHP Indonesia, di bawah
peraturan baru yang disahkan di provinsi tersebut akhir tahun lalu.”
“Pasal yang
kontroversial ini terkandung dalam Qanun Hukum Acara Jinayat (QHAJ), hukum
prosedur pidana Islam, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
pada tanggal 13 Desember 2013.” Pasal ini mengatur ”pelanggaran yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih secara bersama yang di antaranya warga non
Musim", menurut salinan peraturan yang diperoleh Khabar Southeast Asia.
Peraturan ini juga
menyatakan bahwa warga non Muslim yang ditangkap dapat memilih untuk diadili di
pengadilan Syariah atau pengadilan negeri. Tetapi jika pelanggaran tersebut
tidak diatur oleh KUHP Indonesia, pelanggar warga non Muslim akan dituntut di
pengadilan Syariah. Peraturan baru ini memberi wewenang kepada polisi Syariah,
jaksa, dan hakim untuk menahan pelanggar selama 15 sampai 60 hari jika
diharuskan oleh penyelidikan, sidang atau hukuman. Sampai saat ini, aparat
penegak Syariah hanya diizinkan untuk menangkap dan menahan pelanggar secara
sebentar saja untuk memberi konseling mengenai norma-norma Syariah. Mereka
tidak memiliki kewenangan untuk menempatkan para pelanggar ini ke dalam
penjara.
Pasal yang berkaitan
dengan warga non Muslim adalah untuk mencegah pelaku menghindari konsekuensi
hukum ”jika tindak pidana tidak diatur berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)” kata Edrian.
"Tetapi menurut
saya, tidak ada pelanggaran tindak pidana yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan lain di Indonesia. Jadi, pasal yang
mengatur warga non Muslim hanya untuk antisipasi saja."
Para pakar hukum
lainnya menyarankan bahwa warga non Muslim dapat dituntut di bawah QHAJ (Qanun
Hukum Acara Jinayat) jika mereka menkonsumsi minuman keras atau berbuat mesum
antara mereka yang belum menikah.[7]
Dari wacana media
diatas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat tidaklah
terbatas pada muslim saja, melainkan pada non muslim pula. Hal ini senada
dengan pepatah yang menyatakan “Dimana
bumi dipijak disitu langit di junjung.” Selain itu menurut Muhammad Yusron
Hadi (ketua MIUMI Aceh), jika di Banda
Aceh ada UU yang mengizinkan untuk melaksanakan hukum pidana syariat Islam atau
Qanun Jinayah, yakni UU Tahun 1999, 2001, 2006 dan 2013. Itupun dibuat oleh
pusat untuk Provinsi Aceh. Dan juga tidak ada pasal dalam Undang-Undang (UU)
dalam Qonun Jinayah yang bertentangan dengan UU tertinggi. Maka sangat masuk
akal jika warga non muslim di aceh dikenakan hukum yang sama dengan warga
muslim.[8]
BAB
III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Dari uraian dapat
disimpulkan bahwa syari’at adalah jalan yang sesuai dengan undang-undang
(peraturan) Allah SWT. Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad saw.
secara lengkap dan sempurna, jelas dan mudah dimengerti, praktis untuk
diamalkan, selaras dengan kepentingan dan hajat manusia di manapun, sepanjang
masa dan dalam keadaan bagaimanapun.
Sedangkan HAM adalah
hak yang melekat pada diri manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat
diganggu gugat dan bersifat tetap. kita sebagai warga negara yang baik tentunya
haruslah saling menghormati satu sama lain dengan tidak membedakan ras, agama,
golongan, jabaatan ataupun status sosial.
Sebenarnya HAM dan
Syari’at Islam dapat berjalan bersama, akan tetapi ada beberapa hal di dalam
syari’at yang tidak bisa di ganggu gugat oleh HAM karena syari’at mencakup
lebih lengkap peraturan-peraturan hidup manusia.
Seperti yang penulis
nyatakan diatas syari’at islam yang diberlakukan di Aceh berlaku bagi
seluruhnya baik itu muslim maupun non muslim. Oleh karena itu jika ada non
muslim yang melanggar syari’at maka akan dikenakan hukuman yang sama dengan
warga muslim lainnya.
1.2. Saran
Yang pertama marilah
kita tingkatkan ketaqwaaan kepada Allah SWT. Saran penulis yang lainnya juga
adalah bahwa pelaksanaan hukum Syari’at di Aceh belumlah sempurna, masih ada
banyak tempat-tempat maksiat terselubung yang belum disentuh oleh syari’at.
Karena itu kita sebagai warga muslim hendaknya turut menegakkan dan menjaga
Syari’at Islam guna kemaslahatan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Nizhâm Al-Dauli Al-Jadid baina Al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur
al-Islâmi, Yasir Abu Syabana
Tafufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga
Nigeria, cetakan I (Pustaka Alvabet, Jakarta, 1 Desember 2004)
Rudy Tindage dan Rainy MP
Hutabarat, Gereja dan Penegakan HAM, cetakan v (Kanisius, Yogyakarta, 2012)
[1]
Tafufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Nigeria, cetakan I
(Pustaka Alvabet, Jakarta, 1 Desember 2004) hal. 2-4
[2]
http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-pandangan-islam-terhadap-ham_7.html
[3]
Rudy Tindage dan Rainy MP Hutabarat, Gereja dan Penegakan HAM, cetakan v
(Kanisius, Yogyakarta, 2012)
[4]
Al-Nizhâm
Al-Dauli Al-Jadid baina Al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana, hal. 542-543.
[5]
http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa5123
[6]
http://aceh.bps.go.id/
[7]
http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2014/03/22/feature-02
[8]
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/09/13/29400/warga-non-muslim-aceh-ahlul-dzimmah-diperlakukan-sama-dengan-muslim.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar